HALLOUPDATE.COM – Perlindungan terhadap Pembantu Rumah Tangga (PRT) hingga saat ini belum mendapatkan skala prioritas untuk disyahkan.
Bertahun-tahun DPR RI belum juga menyelesaikan RUU PPRT untuk bisa segera diberlakukan.
Sementara kasus-kasus penindasan, kekerasan, eksploitasi serta tidak dipenuhinya hak-hak para PRT banyak terjadi.
Menjadi sebuah pertanyaan besar bahwa DPR RI sebagai wakil rakyat seharusnya bisa menjawab persoalan-persoalan ini dengan sigap dan cepat padahal pada tahun 2021 RUU PPRT ini masuk dalam Prolegnas.
Jika ada perbedaan pendapat antar partai yang masih tajam tentunya DPR tidak boleh melupakan publik, diskursus publik bisa membantu memecahkan kebekuan pembahasan RUU PPRT ini.
Yang dibutuhkan adalah transparansi, dan melempar RUU PPRT yang ada untuk menjadi bahan kajian dikalangan akademisi dan kampus-kampus, sehingga RUU PPRT ini tidak terlunta-lunta.
UU PPRT akan memberikan kepastian perlindungan hukum kepada para PRT.
Sehingga dapat melindungi mereka dari tindak kekerasan, diskriminasi, pelecehan dan eksploitasi.
Tidak hanya itu, RUU PPRT juga harus bisa menjamin kehidupan yang layak bagi PRT.
Melihat data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa sepanjang 2015 – 2022 terdapat 3.255 kasus kekerasan yang dialami oleh PRT di Indonesia.
Jumlah tersebut juga terus meningkat setiap tahunnya.
Sebagai perbandingan, kekerasan terhadap PRT pada tahun 2018 tercatat sebanyak 434 kasus. Angka itu meningkat di tahun 2019 menjadi 467 kasus.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan sehingga tidak ada alasan bagi DPR maupun eksekutif untuk menunda-nunda pengesahan RUU ini.
Urgensinya sudah terpenuhi dengan banyaknya kasus yang terjadi.
Publik melihat seperti adanya diskriminasi terhadap penyelesaian RUU ini di DPR.
Berbeda dengan RUU yang menguntungkan para investor dan oligarki yang selalu dibuat cepat, seperti RUU IKN dan Minerba.
Sementara RUU yang melindungi kalangan bawah yang tidak punya kemampuan lobi sepertinya sulit untuk bisa mendapatkan perhatian lebih dan penanganan cepat.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik.***