HALLO UPDATE – Dalam konteks neorealis, apa yang terjadi di Palestina dan Israel tidak terlepas dari dukungan kuat internasional termasuk gagasan Two States Solution yang disampaikan PM Israel dan Joe Biden.
Ada perbedaan signifikan dulu dan sekarang. Kalau dulu, dunia Arab sangat solid.
Beberapa kali perang Arab – Israel, dunia Arab nampak solid hingga pada era perang Yom Kippur 1973, Israel hampir saja kalah.
Ketika itu suara dunia Arab bulat : No peace, No Nego!. Namun pada hari ini di duni Arab telah terjadi pergeseran pendirian.
Beberapa negara Arab telah membuka hubungan diplomatic dengan Israel, dan aktor utama untuk itu nampaknya pihak Arab Saudi.
Pergeseran posisi dunia Arab terletak pada faktor: Tingginya ketergantungan proteksi militer negara-negara Arab kepada USA.
Terdapat Private Military Company (PMC) yang dimiliki oleh para veteran perang USA yang diperkerjakan di sejumlah negara-negara timur tengah.
USA berhasil mengubah persepsi ancaman baru di negara-negara timur tengah. Saat ini yang menjadi ancaman baru adalah Iran.
Shiting ancama ke Iran tersebut membuat Israel lebih leluasa. Namun, masalah Palestina kemudian tidak lagi menjadi prioritas bagi politik luar negeri negara-negara Arab.
Hal itu membenarkan tesis Huntington 30 tahun lalu yang menyebutkan: Islam memang sebuah kesadaran besar, tetapi tidak didasarkan pada kohesi yang kuat bagi masyarakatnya.
Hambatan utama bagi perdamaian Israel dan Palestina adalah masalah perbatasan, di mana Israel tidak mau menyerahkan batas wilayah yang didudukinya pada Perang 1967.
Karena masing-masing mempunyai persepsi. Wilayah Tepi Barat Palestina telah dibangun dan dikembangkan oleh Israel dengan membangun ribuan perumahan yahudi.
Israel juga tidak mau membagi ibukota Jerusalem menjadi dua, sebagaimana tuntutan pihak Palestina yang menghendaki Jerusalem Timur.
Masalah lain yang juga berat adalah 5 juta pengungsi Palestina yang terpaksa mengungsi sejak Perang 1948.
Para pengungsi Palestina pasti ingin kembali ke tanah asal mereka, sementara Israel menolak karena salah satu pertimbangan.
Yakni perubahan komposisi penduduk, yang akan berubah paska kembalinya para pengungsi Palestina.
Global Power Shifting dengan munculnya China sebagai kekuatan ekonomi baru, harus jadi momentum penting.
OKI harus diberdayakan untuk menggoalkan ide Solusi Dua Negara.
Indonesia jelas harus berperan aktif dengan membangun sinergi aktif dengan negara-negara moderat seperti Turki, Jordania, Maroko, Emirat Arab, Qatar, Jordania dan Arab Saudi.
Serta negara-negara Asia Selatan Pakistan dan Malaysia.
Tantangan lain adalah masih terbelahnya faksi-faksi perlawanan Palestina seperti Fatah dan Hamas.
Fatah menggunakan konsep sekularisme negara, namun Hamas berdasarkan pada konsep keagamaan.
Syukur álhamdulillah, Indonesia telah selesai dengan masalah-masalah tersebut dengan menjadikan Pancasila sebagai basis dialog Kenegaraan dan Keagamaan.
Opini: Ahmad Khoirul Umam Ph.D, Managing Director Paramadina Public Policy Institute. Berdasarkan resume Webminar Universitas Paramadina dan CDCC “Solusi Dua Negara (Palestina dan Israel)”, 29 September 2022 dengan host Prof Dr Didik J Rachbini MSc Ph.D.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Hallo Media Network, semoga bermanfaat