LANGIT Jakarta memang sudah kembali biru, namun bayang-bayang asap yang sempat membubung dari halte TransJakarta masih menyisakan jejak kelam di memori warganya.
Jalanan yang sehari-hari menjadi nadi pergerakan ibu kota berubah wajah: kaca pecah berserakan, dinding hangus terbakar, pintu gerbang transportasi publik hancur tak berdaya.
Di balik kerumunan yang sudah bubar, pemerintah kini tengah menghitung biaya untuk merapikan luka.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Angka Kerugian Transportasi Publik Membengkak Setelah Perusakan
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, berdiri di Balai Kota pada Senin, 1 September 2025, dengan tumpukan data kerugian di tangannya.
Suaranya tenang, meski angka-angka yang ia paparkan terasa mencengangkan. “MRT Jakarta kerusakan infrastruktur untuk MRT sebesar Rp3,3 miliar, TransJakarta kurang lebih Rp41,6 miliar,” ucapnya.
Kerusakan itu meliputi 22 halte TransJakarta, baik BRT maupun non-BRT, dengan enam di antaranya habis dibakar dan dijarah.
Satu pintu tol pun tak luput dari dampak. Seolah jaringan transportasi yang dibangun bertahun-tahun harus menanggung cobaan sekejap mata.
Pramono menyebutkan, kerugian tak hanya berhenti pada halte. Infrastruktur lain seperti CCTV ikut jadi korban.
Baca Juga:
Kapolres Metro Jaksel Kombes Polisi Ade Rahmat Idnal Tanggapi Tudingan Sudah Terima Uang Rp400 Juta
“Kerusakan CCTV dan infrastruktur lainnya, Rp5,5 miliar,” katanya. Meski demikian, ia menambahkan bahwa total kerugian yang resmi masih berada pada angka tersebut.
Biaya Subsidi Gratis MRT dan TransJakarta Menguras Anggaran
Kerusakan fisik ternyata bukan satu-satunya pos yang menguras keuangan daerah.
Pramono mengungkap, demi memastikan roda pergerakan warga tetap berjalan, pemerintah harus mengeluarkan subsidi besar untuk transportasi.
“Dana yang harus dikeluarkan untuk subsidi gratis MRT dan TransJakarta sampai tanggal 8 September 2025 adalah sebesar Rp18 miliar,” ujarnya.
Baca Juga:
2 Wanita Pengedarkan Obat Penggugur Kandungan Ilegal Ditangkap Polisi, Gunakan Resep Palsu
Polisi Ungkap Hasil Tes Urine, Usai Periksa Remaja Pelaku Pembunuhan Ayah dan Neneknya di Jaksel
Lewat Media Sosial Facebook, Seorang Ayah Jual Anak Kandung Berusia 11 Bulan dengan Harga Rp15 Juta
Angka itu meluncur seperti beban ganda: selain membiayai perbaikan, pemerintah juga menanggung ongkos operasional agar warga tak terjebak dalam krisis mobilitas.
Namun, meski ada luka, roda transportasi tidak sepenuhnya terhenti. Akses untuk rute 14 koridor TransJakarta tetap beroperasi.
Meski Pramono mengakui ada sedikit hambatan yang sejauh ini bisa diatasi. Kota tetap berdenyut, meski nadinya tak selancar biasanya.
Stabilitas Pangan Dibela dari Isu Dan Rumor Tak Berdasar
Di tengah kabar kerusakan fasilitas publik, Jakarta juga diterpa isu lain yang tak kalah mengkhawatirkan: rumor soal ancaman krisis pangan.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Kabar itu beredar cepat, menciptakan kegelisahan warga yang sudah penat oleh gangguan transportasi.
Pramono memilih untuk menepis kabar itu secara terang. “Saya juga ingin menyampaikan, kemarin sempat beredar rumor bahwa pangan akan menjadi masalah.”
“Di Jakarta, pangan cukup bahkan sampai dengan Oktober akhir, kalau tidak ada sesuatu akan sangat mencukupi,” ujarnya.
Penegasan itu bukan sekadar pernyataan, melainkan juga bentuk perlawanan terhadap hoaks yang seringkali lebih cepat menyebar ketimbang data resmi.
Pemerintah ingin memastikan bahwa stabilitas dasar kehidupan warga, yakni kebutuhan pangan, tetap terjamin meski kota tengah berupaya bangkit dari kerusakan.
Jakarta Bangkit di Tengah Luka, Pemerintah Hitung Biaya Sosial
Kerugian akibat aksi perusakan, penjarahan, dan pembakaran kali ini jelas bukan sekadar soal angka dalam laporan keuangan pemerintah.
Ada biaya sosial yang lebih dalam: warga yang terhambat mobilitasnya, rasa aman yang terguncang, dan ruang publik yang rusak kepercayaannya.
Meski kerusakan material bisa diperbaiki dengan dana miliaran rupiah, ada pertanyaan lebih besar yang bergema di balik tembok Balai Kota: bagaimana memastikan ruang publik tetap terlindungi dari kekerasan serupa di masa depan?
Jakarta, kota yang selalu bergerak, kini dipaksa berhenti sejenak untuk berkaca.
Transportasi publiknya, yang selama ini menjadi wajah modernisasi, mendadak tampil ringkih di hadapan amarah kolektif.
Namun, sebagaimana ditegaskan Pramono, denyut kota tak boleh berhenti. Infrastruktur bisa diperbaiki, rumor bisa diluruskan, dan roda kehidupan harus tetap berputar.****