HALLO UPDATE – Pendekatan restorative justice (RJ) dalam penangganan korupsi dimaksud agar seseorang tidak akan diproses sebagai koruptor manakala dirinya sudah mengembalikan kerugian negara.
Plus tambahan keuntungan yang dilakukan dari hasil korupsi tersebut. Ide tersebut berbahaya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ide RJ disampaikan pimpinan KPK yang baru yaitu Johanis Tanak. Menurut Johanis Tanak, RJ itu berarti seseorang tidak akan diproses hukum manakala sudah mengembalikan hasil korupsinya.
“Maka tidak perlu diproses secara hukum. Karena ketika dia diproses secara hukum, maka kerugian keuangan negara akan bertambah, bukan berkurang,” ujar Johanis.
Baca Juga:
Mengapa Reshuffle Kabinet di Tahun Politik 2023-2024 Tak Untungkan Jokowi? Ini Alasannya
Kerap Sebut Prabowo Capres Potensial, Jokowi Kembali Beri Sinyal Lewat Gibran Rakabuming
Perpanjangan Masa Jabatan Kades adalah Strategi Makar Terhadap Konstitusi
Sebagaimana yang dipahami oleh banyak orang bahwa restorative justice (RJ) dalam tindak pidana korupsi.
Yaitu dalam bentuk pengembalian seluruh hasil tindak pidana korupsi beserta segala bentuk keuntungannya apabila terdapat keuntungan yang diperoleh pelaku tindak pidana korupsi.
Itu Artinya tidak ada proses penegakkan hukum berupa hukuman penjara atau semacamnya.
Jika pendekatan ini dilakukan oleh KPK sebagai implementasi dari ide Johanis Tanak maka ini akan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Baca Juga:
Mantan Kapolri Datangi Mabes Polri, Mengapa Tito Karnivian dan Idham Azis Tidak Hadir?
Iran Dituding Ikut Terlibat Bantu Rusia, Konflik Rusia – Ukraina Semakin Meluas
Pendekatan ini tentu banyak ditentang oleh banyak kalangan, karena tidak mempunyai efek jera terhadap pelaku.
Sementara dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi secara langsung ataupun tidak langsung menimbulkan banyak kerusakan.
Dikutip dari Tempo.co, “Ada di UU (undang-undang) tentang BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Kalau BPK menemukan kerugian uang negara itu dikembalikan dalam tempo 60 hari, proses tidak dilakukan,” kata Johanis usai mengikuti uji kelayakan di DPR, Rabu, 28 September 2022.
“Kalau sudah dikembalikan, kemudian proses tetap berlangsung, berapa uang negara yang harus dikeluarkan?”
Pendekatan itu oleh Johanis dianggap tepat karena anggaran negara untuk pembangunan bisa berjalan sehingga negara tidak perlu menggunakan anggaran untuk memproses pelaku tindak pidana korupsi.
Baca Juga:
Rilispers.com Layani Publikasi Press Release di Portal Pers Daerah dari Pulau Sumatera Hingga Papua
Kasus Penerbitan IUP, KPK Periksa Pejabat Pemprov Kalimantan Timur dan Seorang Ibu Rumah Tangga
Ide tersebut tidak tepat. Seharusnya efek jera kasus korupsi ini bukan diturunkan levelnya dengan pola restorative justice.
Justru korupsi tersebut harus diangkat levelnya menjadi extraordinary crime dan mendapatkan perlakuan khusus seperti halnya kasus terorisme.
Seperti halnya kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh Menteri, perbuatan yang tidak bermoral seperti ini sepantasnya mendapat hukuman mati, karena korupsi saat publik sedang sudah dan sedang diserang pandemi COVID19.
Jika penegakkan hukum terhadap pelaku korupsi sudah tidak lagi menakutkan dan memberikan efek jera maka hal ini dapat menyebabkan kasus-kasus korupsi menjadi tumbuh lebih subur. Korupsi akan menjadi hal yang wajar dan lumrah untuk dilakukan.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Publik harus waspada jika ada indikasi upaya-upaya mengarah kepada penerapan pola penegakkan hukum yang tidak tepat yang berbahaya bagi negara.
Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Hallo Media Network, semoga bermanfaat.